rakyatlampung.id — Pelaksanaan Penerimaan Siswa Baru ( PPDB) 2019 mengalamibanyak kendala di beberapa daerah dan memunculkan berbagai tanggapan dari berbagai pihak
Menanggapi hal tersebut, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ( Mendikbud) Muhadjir Effendy menyampaikan pihaknya telah melakukan evaluasi dan koordinasi dengan sejumlah pemimpin pemerintah daerah.
Ditemui selepas acara Rapat Koordinasi persiapan Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS) bersama Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto di Gedung Kemendikbud (21/6/2019), Mendikbud Muhadjir Effendy memberikan sejumlah alasan mengapa Kemendikbud tetap menjalankan PPDB 2019 berbasis sistem zonasi:
1. Revisi kuota siswa berprestasi
“Sebetulnya yang dimaksud Bapak Presiden ditinjau bagian-bagian mana yang ‘tanda petik’ kontroversi. Dan salah satunya kuota untuk siswa berprestasi dari luar zonasi. Yang semula 5 persen, beliau berpesan diperlonggar lah,” ujar Muhadjir.
Menanggapai hal tersebut Mendikbud kemudian memperlonggar batasan kuota ini dari semula 5 persen kemudian ditambah mulai dari interval 5 sampai 15 persen. “Untuk daerah yang sudah pas 5 persen dengan aturan yang lama berjalan terus,” ujar Menteri Muhadjir.
2. Tidak semua daerah bermasalah
“Sebetulnya Jawa Timur saja (bermasalah). Kita berdiskusi dengan Ibu Gubernur Jawa Timur, Ibu Khofifah juga dengan Pak Gandjar Gubernur Jawa Tengah. Saya juga sempat telpon sudah tidak ada masalah dengan Pak Ridwan Kamil Gubernur Jawa Barat,” ujar Mendikbud.
“Tidak ada masalah. (PPDB) Jalan terus. Yang sudah lancar biar jalan terus dengan kelancarannya, yang belum lancar mudah-mudahan menjadi lancar dengan revisi itu,” tegas Mendikbud. Menteri Muhadjir juga menceritakan ada pula beberapa daerah yang sudah menjalanlan praktik baik sistem zonasi ini seperti wilayah Kalimantan Utara dan Bali. “Mereka sudah mulai mendata siswa bahkan sebelum PPDB, sehingga saat PPDB dimulai kuota tiap sekolah sudah terpetakan,” ceritanya.
3. Zonasi bersifat lentur
Mendikbud juga menekankan sistem zonasibersifat lentur dan fleksibel. Zonasi ini tidak berbasis kepada wilayah administratif tetapi wilayah keberadaan sekolah, populasi siswa dan radius. “Jadi kalau ada populasi siswa tidak ada sekolah ya harus diperluas zonasinya sampai ada sekolah yang masuk (zonasi). Kalau ada wilayah tidak ada sekolah, ya bukan zonasi namanya,” tegasnya.
Menteri Muhadjir menyontohkan Provinsi DI Yogyakarta yang menyesuaikan cakupan zonasi sekolah dengan populasi siswa sehingga seluruh wilayah tercakupi dalam sistem zonasi.
4. Selesaikan masalah mikroskopik
Mendikbud menjelaskan sistem zonasi ini akan digunakan melakukan pemetaan terhadap berbagai permasalahan mikroskopik di masing-masing wilayah. “Justru dengan zona ini diharapkan kita dapat memetakan masalah pendidikan secara mikroskopik. Karena kalau pendekatannya nasional akan buram gambarnya,” ujarnya.
Persoalan seperti daya tampung siswa, ketimpangan sarana-prasarana, pemerataan kualitas guru akan dapat terpetakan dan dapat dicarikan solusinya melalui sistem zonasi ini.
5. Cukup sosialisasi
Terkait sosialisasi Mendikbud menjelaskan Permendikbud terkait PPDB sistem zonasi sudah diterbitkan sejak bulan Desember 2018. “Enam bulan kita selalu berkoordinasi dengan dinas-dinas (pendidikan) termasuk membahas zona bayangan. Dari 1.600 skenario zona yang kita tawarkan menjadi 2.600-an berdasarkan masukan-masukan dari dinas pendidikan kota maupun kabupaten,” ujarnya.
Meski demikian, Mendikbud mengakui manfaat zonasi memang tidak bisa serta merta langsung bisa dirasakan. “Tergantung pada komitmen pemerintah daerah, kesadaran dan perubahan mental masyarakat, topangan pemerintah pusat,” ujarnya.
6. Dianut banyak negara
“Kalau contoh best practise-nya (zonasi) sudah tidak ada yang meragukan. kita bisa lihat Jepang, Korea, dan Australia sudah menerapkan sistem zonasi. Sekarang Malaysia juga sudah menerapkan sistem zonasi juga,” ujarnya.(ltn)