BANDARLAMPUNG- PT Perkebunan Nusantara VII (PTPN VII) mengalami perlambatan kinerja akibat beberapa faktor. Secara umum, faktor utama yang menjadi penyebab adalah krisis bisnis di bidang agro industri yang melanda dunia. Tidak hanya PTPN VII, hampir semua perusahaan sejenis mengalami gangguan kestabilan bisnis cukup serius.
Menurut Direktur PTPN VII, M. Hanugroho, hancurnya harga komoditas agro industri, terutama kelapa sawit dan karet, di pasar dunia menjadi simpul utama. Pada era 2010-an, harga dua komoditas yang menjadi core business PTPN VII, mengalami masa keemasannya. Tak heran, saat itu PTPN VII melakukan investasi besar-besaran di dua komoditas itu sebagai upaya mendulang keuntungan.
“Investasi dalam bentuk replanting (mengganti tanaman tua dengan tanaman baru), revitalisasi pabrik, dan berbagai upaya modernisasi dilakukan manajemen.
Namun, dunia bisnis agro industry seperti terbalik ketika memasuki era 2012. Harga terjun bebas sehingga banyak simpul bisnis utama perusahaan mengalami gangguan. Cash flow memburuk mengakibatkan tanaman gagal mendapat nutrisi yang cukup, bahkan banyak yang tak terawat,” ujarnya, saat buka puasa bersama insan media, di Rumah makan Kayu, (27/5/2019).
Sebab, pendapatan dari kebun yang tersisa (tidak direplanting) tidak mencukupi untuk operasional. Sementara, dana investasi yang didapat dari sindikasi bank, harus dibayar cicilannya. Tak pelak, manajemen beberapa kali mengalami stagnasi.
Dipaparkannya, dalam menjalankan bisnis tanpa dukungan likuiditas yang memadai dijalani manajemen PTPN VII. Berbagai kebijakan dan strategi extra ordinary diberlakukan. Perbaikan kedalam (internal) dilakukan manajemen melalui berbagai kebijakan efisiensi yang ketat, akurasi sasaran, dan optimalisasi aset.
“Secara ketat pula, manajemen melakukan gerakan bersama (restrukturisasi human capital, SDM) untuk menguatkan spirit bangkit kepada setiap karyawan. Syukurnya, jumlah karyawan yang mencapai angka 12.000 orang memilik spirit yang sama, yakni, semangat menjemput harapan,” ungkapnya.
Perbaikan keluar (eksternal), manajemen juga melakukan lobi-lobi kepada debitor dalam rangka restrukturisasi financial. Hasilnya, perusahaan bisa mendapatkan kesempatan lebih lega dalam pembayaran cicilan utang investasi.
“Manajemen berprinsip, dalam situasi apapun, sebagai perusahaan yang mempunyai visi menjadi korporasi kelas dunia, bertekad bahwa dalam situasi apapun visi besar itu harus tetap berjalan. Artinya, meski kondisi keuangan sedang kurang baik, misi-misi dagang dengan relasi global tetap terus dilakukan. Antara lain, PTPN VII harus tetap ada dan tercatat pada frekuensi bisnis yang tune in dengan bisnis global,” paparnya.
Terkait dari program nasional itu, kita mendapatkan hibah pembangunan pabrik CPO berkapasitas besar dari Kementerian Perindusterian RI. Dalam masa kritis, manajemen juga terus mencari terobosan cepat maupun berjangka. Beberapa program optimalisasi aset milik PTPN VII juga diajukan kepada Kementerian BUMN untuk mendapat respons dari berbagai pihak melalui “Program Sinergi BUMN”. Meskipun tidak segera mendapatkan dana segar, perusahaan memilik oportunity bisnis jangka panjang. Antara lain, pembangunan resort wisata Teluk Nipah yang memanfaatkan lahan milik PTPN VII di Afdeling Kalianda, Lampung Selatan.
Terkait dengan pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS), PTPN VII memiliki andil besar. Lahan PTPN VII Unit Kedaton adalah pintu awal dimulainya pembangunan karena menjadi lahan yang paling siap secara hukum dan fisik untuk segera di bangun. Di lahan kebun karet itu, Presiden Joko Widodo meresmikan ground breaking (peletakan batu pertama) pembangunan JTTS.
Tak kurang, PTPN VII pada awal tahun 2019 telah menggunakan sistem pelaporan di semua item modul menggunakan Enterprise Resource Planning (ERP). ERP adalah salah satu sistem paling dominan dipakai korporasi di seluruh dunia.
Dari kompetensi dan etos kerja, PTPN VII berupaya meng-endors experience business dari berbagai perusahaan yang terbukti sukses. Caranya adalah melakukan Kerja Sama Operasonal (KSO) dengan perusahaan lain untuk beberapa item.
“Pada kebun dan pabrik teh milik PTPN VII di Unit Pagaralam, Sumatera Selatan, manajemen memutuskan untuk melakukan KSO dengan PT. Chakra. Perusahaan yang mengelola kebun, pabrik, dan menangani pemasaran teh dalam jumlah besar. Perusahaan yang bermarkas di Jawa Barat ini telah memulai KSO pada akhir 2018 dengan PTPN VII dengan hasil yang sangat baik,”kata dia.
Program KSO, imbuh M. Hanugroho juga dilaksakan di Pabrik Kelapa Sawit Unit Talopino, Provinsi Bengkulu. Pabrik CPO ini bekerja sama dengan PT Bengkulu Sawit Lestari (BLS). Hasilnya, operasional pabrik berkapasitas 40 ton per jam itu tak pernah berhenti beroperasi.
“Tujuan spin off ini, selain untuk mendapatkan dana segar, juga untuk melakukan transfer of knowlegde dan transfer of spirit kinerja perusahaan. Dalam hal ini, manajemen baru akan menerapkan norma-norma baru yang lebih kompetitif dalam mengelola perusahaan secara menyeluruh,” tandasnya. (ron)